Laman

Rabu, 28 April 2010

Amarah

Harapku melebur
Dalam riak amarahmu
Terkapar dalam praduga
Menggelora dalam prasangka

Kau tusuk hatiku dengan kata
Kau bunuh jiwaku dengan lara
Ada dendam yang membara
Dalam kilauan airmata

Seburuk itukah wajah jiwa yang kau lihat?
Semua tak seperti yang kau kira..

Rabu, 21 April 2010

Dan Hatiku meragu
Diantara waktu yang tak sempurna
Betulkah ada rindu
Atau hanya kesia-siaan belaka?
Rasa yang tersimpan lama
Terpisah dalam jarak
Terbentang diantara lautan
Semua tak mungkin lagi sama
Adakah jejak yang tak berubah?
Sedang kehidupan selalu berputar dalam porosnya
Langkah yang kubangun
Tanah yang kupijak
Semua tak lagi sama…

hampa (lagi)

Pencarianku dalam waktu
Meninggalkan asa yang tak tersisa
Dalam ragu yang tak berujung
Dalam kata tanpa suara

Sampan ini terkoyak
Dan terapung disamudera tak berujung
Badai menghadang menghancurkan semua yang tersisa
Dan tenggelalm dalam lautan gelap

Tak kutemukan cahaya
Hanya kegelapan yang menyiksa
Tak kurasakan apa-apa
Selain waktu yang membisu
Menyeretku dalam pusaran
Tergulung dalam takdir

Selasa, 13 April 2010

Dunia Tanpa Suara

lama terdiam menekuri garis takdir
tak ada nada tak ada suara
hanya sunyi yang mencekam
mengaduk-aduk jiwa yang tlah lemah

menjalani waktu yang lengang
dalam kemeriahan zaman
dalam dunia tanpa suara
tanpa kata!
hanya detak jam yang berputar
dan kurasakan waktu teramat lambat berjalan..

Kamis, 08 April 2010

tentang seseorang..3

Setiap kesahajaan yang ditawarkannya begitu memikat hatiku, begitu mempesona. Dalam kekurangannya, ia memiliki segudang bakat yang entahlah apakah itu disadarinya atau tidak. Dalam diam, dia menawarkan ketenangan, dalam sendiri dia memberikan keteguhan, begitu sederhana, begitu apa adanya.
Aku mengenalnya tidak untuk menjadikannya sebagai sosok istimewa, pun tidak bermaksud untuk mengingatnya dalam sisa hari yang terlewati, tetapi dalam pertemuan yang telah Tuhan tentukan untukku, dia mengikatku dalam kenangan yang samar, dalam kemustahilan. Setiap tingkahnya mengikatku dan menjadikan kenangan yang terlalu indah untuk dibuang. Aku begitu menikmati setiap tindakannya, dan dia begitu mempesona dalam kesendiriannya. Dalam kesederhanaanya.
Waktu mengikatku dalam kenangan akan dia, dan sungguh ini sesuatu yang tidak aku harapkan, dia datang dengan berbagai ketidakmungkinan, dan aku tak bermaksud untuk menjadikannya hadir dalam nyata, biarlah ia kukenang dalam angan, karena aku tahu itu lebih abadi dibanding sebuah pertemuan. Biarlah kusimpan seluruh pesonanya dan kukenang ia dalam setiap menit yang terlewati, dan kubiarkan ia hidup memenuhi benakku, karena disana ada keabadian, dan ia hadir tidak untuk menjadi nyata, tetapi untuk menjadi abadi.

Rabu, 07 April 2010

Yang Tersisa dari Sebuah Pertemuan

Aku terkadang benci jika harus mengingatnya, pun demikian jika kenangan itu datang menyeretku ke masa lalu yang membuatku harus menyesali pertemuan itu. Ah…, aku kembali harus mengingatkan diriku sendiri kalau semua yang telah terjadi adalah KehendakNya, ya! Jika tidak pasti pertemuan itu tak kan ada. Dan sebagai hambaNya aku tak memiliki kuasa untuk menolak takdirNya, termasuk menolak pertemuan itu.
Ketika pertemuan itu harus diakhiri, maka aku harus dihadapkan pada takdir Tuhan yang lain, perpisahan. Dan sejujurnya aku tidak menyukai keduanya, sebab keduanya adalah kenyataan yng menyakitkan. Dalam pertemuan. Aku akan dihadapkan pada suatu realita yang boleh jadi tak diinginkan atau akan menyakitkan, jika kenyataan itu tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan atau dibayangkan, sedang dalam perpisahan, akan dihadapkan pada perasan kehilangan dan kesedihan.
Meskipun demikian, keduanya adalah takdir Tuhan yang pasti dialami manusia dalam dunia fana ini, dan tak seorang pun sanggup untuk menolak atau melawannya. Keduanya adalah kepastian dan Tuhan memberikan hikmah dibalik keduanya, adakah mahluk yang sanggup menolak kehendak Tuhan?

sesal

penyesalan itu tak ada artinya, dan seperti kata pepatah”penyesalan itu selalu datang kemudian” kadang aku suka mempertanyakan kenapa harus ada penyesalan jika hidup ini telah diatur oleh Sang Maha Pencipta. Kenapa kita kadang-kadang menyesali keputusan yang telah diambil, sedang hidup ini berjalan atas kehendakNya. Dan kita tak bisa melawan kehendakNya berkenaan dengan kenyataan-kenyatan yang terjadi dalam hidup. Kenapa kita tidak berusaha untuk menikmati kenyataan pahit dan memikirkan hikmah dari yang telah terjadi untuk mengambilnya sebagai pelajaran yang berharga? Kenapa kita harus mempertanyakan kehendak Tuhan atas diri kita? bukankah Dia tidak menciptakan sesuatu dengan sia sia?

hampa

Malam dalam kesendirianku memaksaku bermain dengan kata-kata dan bercerita dalam angan, merangkai sebuah hayalan yang berujung pada pengharapan semu. Kesendirianku melahirkan kebencian dan keangkuhan, sepi yang senantiasa mengusik hidupku memaksaku untuk mencari kenyataan dalam mimpi, meski harus berakhir dengan cara yang menyakitkan. Mimpi-mimpi yang aku rangkai hancur dalam sadarku dan aku terjerambab dalam ketakutan dan keputusasaan, aku mencoba bangun dan melihat dunia tetapi yang kudapatkan adalah kepalsuan. Mimpi itu tak lagi indah…
Rasanya waktu teramat cepat mendahuluiku dengan pemhuktian yang mengerikan, dan menghancurkan seluruh asa yag hendak kubangun, salahkah aku jika hanya percaya angan?salahkah jika aku menjadi sosok pengecut dari masalah yang kuciptakan sendiri? Segudang keinginan dan harapan tak lagi cukup untuk mengubah hidupku, bahkan segudang kata-kata pujian, sanjungan dan semangat tak cukup membawa asaku kembali, apalagi ketika aku teramat lelah dengan dua dunia yang kujalani, dua dunia yang berbeda tetapi sama sebab keduanya telah merusak mimpi-mimpi yang selama ini aku rangkai, bahkan ketika aku kalut dan bingung mencari tempat sembunyi, keduanya tak memberiku tempat untuk sembunyi, salahkah aku jika membenci hidup dan duniaku?
Sejuta pertanyaan dalam benakku laksana jarum yang menusuk hatiku dengan kepedihan yang teramat sangat dan tanpa aku sanggup untuk menjawabnya. Kenyataan dan mimpiku yang berbaur melahirkan kebimbangan dan membuatku larut dalam sejuta mengapa dan ketidak percayaan, bahkan sejuta penyesalan dalam hatiku tak mampu membuatku berdiri dalam nyataku atau dalam mimpi sekalipun, bahkan semua itu semakin membuatku terjerembab dalam lorong gelap dan sempit, dan aku kebingungan mencari jalan keluarnya , sebuah lorong di negara yang tak bertuan, lorong yang tak berujung dan hampa………

Mengenang mu………….

Aku menulis ini, hanya untuk mengatakan pada dunia bahwa engkau adalah sosok agung yang senantiasa terbalut kesucian air wudhu, tak pernah kutemukan mendung dalam wajahmu, kau senantiasa tersenyum pada kenyataan yang kau lalui, saat kesedihan menimpamu, pun saat bahagia menyergapmu. Aku kadang tak habis pikir denganmu, dengan caramu memandang dunia, kau selalu menganggap dunia ini sebagai permainan belaka dan perantara menuju singgasanaNya, kau menganggap dunia ini sebentar saja dan kau melaluinya dengan santai. Tiada kesusahan yang kau tampakkan, tiada keresahan yang kau ucapkan, apakah Tuhan tidak pernah mengujimu dengan masalah yang kau rasa berat?kadang aku selalu bertanya seperti itu, dan seperti biasa kau hanya membalasnya dengan senyuman.
Engkau yang ku kagumi karena shalatnya, adakah gerangan sesuatu yang membuatmu gundah gulana?maukah engkau berbagi keluh kesah denganku?aku siap menampungnya dengan mangkuk jiwa yang telah aku persiapkan sejak lama, aku siap mendengarkannya dengan perhatian yang penuh dan tak akan kubiarkan konsentrasiku terganggu karena hal lain. Engkau yang tak pernah bersedih, tak adakah kesedihan dalam hatimu berkenaan dengan kenyataan-kenyataan pahit yang kau alami?
Duhai jiwa yang senantiasa berbahagia, kadang-kadang aku malu pada diriku sendiri, aku selalu berkeluh kesah oleh hal-hal kecil yang Tuhan berikan padaku, aku selalu menghabiskan airmataku oleh kesedihan kecil yang kualami, aku selalu menganggap dunia ini sebagai cobaan yang berat yang seakan aku tak sanggup memikulnya. Sungguh aku ingin senantiasa bersamamu dan belajar banyak darimu tentang makna hidup dan cara menghadapi hidup dengan senyuman, aku ingin tetap bersamamu agar aku bisa menghadapi kenyataan dengan jiwa besar, aku ingin selalu bersamamu, selamanya.
Caramu memandang hidup membuatku harus mengacungkan kedua ibu jariku, tak ada keluh kesah, tak ada penyesalan, semuanya kau hadapi tanpa beban. Kau selalu berkata kalau semua masalah pasti ada jalan keluarnya, kau begitu bersahaja dalam hidup, tak adakah keindahan dunia yang menarik perhatianmu?
Duhai engkau yang selalu menghabiskan sepertiga malam untuk memadu kasih dengan Tuhan, yang selalu menangis atas dosa yang diperbuat, adakah dosa besar yang kau perbuat sampai kau menghabiskan airmatamu sedemikan rupa seakan kau telah membunuh sebuah jiwa? Duhai engkau yang selalu menghiasi diri dengan takwa, adakah rahasia yang kau sembunyikan dariku berkenaan dengan kesusahanmu atau kesedihanmu? Apakah rahasiamu dalam menghadapi hidup, yang sejak kau pergi terasa begitu memilukan hatiku?
Aku terkadang selalu berkata pada Tuhan, kenapa Dia memanggilmu dengan cepat? Kenapa semua begitu cepat berakhir? Duhai kau yang selalu memberiku semangat untuk menjalani hidup, aku begitu kehilanganmu sejak kau meninggalkanku sedang aku baru belajar berdiri sendiri untuk menghadapi kenyataan. Tetapi aku selalu ingat apa yang selalu kau katakan padaku, bahwa kita hidup atas kehendakNya, dan kita tak mungkin bisa menentang takdirNya. Dan takdir telah mengambil kau dari ku.
Dalam kenangan kini, aku ingin kau melihatku dari keabadian, aku telah mengikuti jalanmu, aku mulai terbiasa mereguk kepahitan sambil tersenyum, aku mulai terbiasa menutup malam dengan tangisan, dan aku mulai berani menyerahkan hatiku pada kekasih Jiwa kita, aku kini mengerti rahasia yang kau sembunyikan dariku, aku kini tahu kalau shalat adalah jawaban dari seluruh kegelisahanmu.
Engkau yang namanya abadi dalam hatiku, aku ingin kau tersenyum dengan perubahanku, aku ingin kau bahagia dalam keabadianmu, dan semoga kau tak pernah menyesal berteman denganku, sebagaimana aku yang begitu bangga pernah memilikimu.
Kupandangi langit malam yang bertabur bintang, kudapati engkau tersenyum padaku….

Kala Sunyi

Kesunyian mengantarkanku pada perenungan dan kesedihan. Dalam senyap, ketika aku hanya berdua dengan Tuhan, mungkin bertiga dengan syetan yang tak pernah merelakanku memadu kasih dengan Nya, aku menemukan diriku yang sebenarnya tak lebih dari seonggok jasad kaku dari setetes air yang hina, dan Tuhan melalui kekuasaanNya meniupkan roh pada tubuhku setelah aku sepakat dan menandatangani perjanjian untuk tunduk dan taat padaNya di Azali. Jadilah aku menjadi sosok yang seperti ini, sosok yang paling sempurna diantara sekian mahluk ciptaanNya.
Lalu dalam perjalanan waktu, saat aku mulai melupakan dan mengingkari perjanjianku denganNya, dan mulai berkenalan dengan syetan, yang kemudian ia menjerumuskan aku kedalam kesombongan, dan keserakahan. Aku sombong atas keberadaanku yang sempurna, atas kekayaanku yang melimpah, atas kepintaranku yang tak bisa ditandingi orang lain, lalu kemudian perasaan tidak puas mengantarkanku pada keinginan untuk memiliki dunia, aku ingin membeli seluruh isi semesta ini agar aku bebas mengitarinya tanpa dipungut biaya. Aku begitu sempurna bersekutu dengan syetan, dan kuanggap ia sebagai guru sekaligus penasehat spiritualku.
Kemudian, ketika berbagai kemalangan beruntun menimpaku berkenaan dgn roda kehidupan yang selalu berjalan terus, ketika syetan pun mentertawakanku dan berlalu meninggalkanku yang tersungkur dalam takdir, ketika semua yang kukenal pun mentertawakan kemalanganku yang disebabkan karena kesombonganku, ketika aku merasa hidup tak lagi adil, dan ketika aku merasa sendiri ditengah keramaian, aku dipaksa pada perenungan atas apa yang terjadi , dan aku dihadapkan pada berbagai pembuktian yang mengerikan.
Tiba-tiba saja aku ingat bahwa aku memiliki perjanjian dengan Tuhan, tiba-tiba aku sadar bahwa aku hidup karenaNya, karena kasihNya, tiba-tiba aku sadar bahwa aku harus tunduk dan taat pada perintahNya, lalu….yang selama ini kulakukan…?! Tiba-tiba saja aku merasa sangat membutuhkanNya…………
Aku tersungkur dalam penyesalan yang dalam, aku dibawa pada kesadaran yang membuat air mataku tumpah laksana hujan yang menyebabkan banjir dan menenggelamkan umat Nabi Nuh yang durhaka, apakah Tuhan masih mau memaafkanku? Apakah Tuhan masih bisa tersenyum melihat tingkahku selama ini? Atau Tuhan akan mengirimkan Izrail secepatnya untuk mengambil kembali rohku tanpa permisi, dan segera mengutus Munkar dan Nakir dengan palu dan cambuk untuk menyiksaku di kegelapan kubur…..aku tak sadarkan diri membayangkan semua itu, ( Aku pikir aku telah mati ).
“nak, Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang lagi Maha Pemaaf, kamu masih memiliki kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri, jangan buang-buang waktu untuk mengambil kesadaran, jangan biarkan syetan mengambil kesempatan menggodamu dari kekosongan hatimu, segeralah bertobat, anakku…Sesungguhnya Allah itu Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang” Seorang Kakek tua berjubah putih, mirip kakekku yang telah meninggal berkata-kata padaku dalam ketidaksadaran. Benarkah Tuhan akan memaafkan seluruh dosa-dosaku?
Kubuka mataku dalam kesunyian, kurasakan pancaran cahayaNya menembus rongga dadaku, kurasakan kedamaian saat ku sebut namaNya, saat itu pula kubatalkan seluruh perjanjianku dengan syetan, meskipun aku tahu dia takkan pernah rela melepaskanku. Tetapi aku tak peduli sebab saat ini aku hanya ingin Tuhan, aku hanya ingin berdua denganNya dan hanya Dia …………

“Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadanya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘arsy yang agung “ (Q.S At Taubah:129).

Selasa, 06 April 2010

Luka

Seringkali kucoba
Melupakan semua luka
Tapi sekian lama kucoba
Luka semakin nyata
Menggelora dan menjelma
Menjadi dendam
Buih buih luka
Membesar dan bergelombang
Lautan kebencian datang
Aku tak kuasa menghadang
Ah!luka

Dalam Harapan dan Kehampaan

Kupeluk malam dalam kegelisahan
Kedipan manja sang bintang
Melelapkanku dalam kesunyian
Semilir angin yang menerpa pucuk-pucuk daun
Menggeliat dalam kedinginan embun
Semakin mengharu biru perasaan
Memporakporandakan jiwa
Menghancurkan harapan
Membuaiku dalam kesepian
Kehampaan jiwa

Dekap erat malam dalam gemintang
Aku terpaku memeluk harapan
Memimpikan suka cita
Mengharapkan mimpi ‘kan jadi nyata
Dalam derai kehidupan yang sebenarnya
Tetapi..yang kudapatkan hanyalah
Kepalsuan dan asa yang tak kunjung jua

mimpi 2

Kulalui hidupku dengan impian
Kutaburi hari-hariku dengan hayalan
Dan kujalani hidupku
Diambang kesadaran dan mimpi

Mimpi itu terlalu indah untuk kubuang
Meski menjeratku kedalam kemustahilan
Bayangannya yang kerap hadir
Membawa anganku jauh dari sadar
Sisa-sisa hidup kujalani
Dengan harapan dan ketakutan

Mimpi yang aku rangkai sendiri dalam kesahajaan
Ditengah benderangnya siang
Didalam gulitanya malam
Hingga tak mampu kubedakan
Apakah aku hidup dalam nyata
Atau sekedar mimpi belaka

Sang Waktu

Lama waktu menemaniku dalam bisu
Membiarkanku menapaki jalan di tanah asing
Dan waktu setia bersamaku
Menemani kesendirian
Bahkan membiarkanku menapaki keegoisan
Dan waktu berlalu dengan cepat
Meninggalkanku yang tak berubah
Aku masih disini dengan harapan yang sama
Ketika pertama kali menginjak tanah asing ini
Bahkan saat waktu merubah sebagian yang kukenal
Aku masih disini
Diam dan tak berubah

Sendiri

Dalam sendiri aku adalah sahabat bagi jiwaku
Dalam diam aku menyimpan tangisan
Dalam candaku ada nestapa
Dalam senyumku ada airmata
Dalam jiwaku ada resah yang berkepanjangan
Dalam bisuku aku bermain dengan perasaan
Dalam benakku ada lukisan malam yang kelam
Tanpa gemintang
Dan dalam hatiku ada asa yang ingin kugapai
Tapi aku terbentur dalam keputusasaan
Aku terasing dalam keramaian
Aku terjebak keindahan dan kasih semu
Aku gak mampu menggapai semua itu
Sebab dalam keramaian aku sendirian

Mentari, Rembulan dan Sang Waktu

Waktu begitu tega membiarkan kita saling terdiam
Tenggelam dalam keragu-raguan
Hanyut dalam lautan egois
Kesalahpahaman

Waktu begitu tega mengiris-iris perasaan kita dengan kecuekan
Membiarkan kita dibelenggu gembok keangkuhan
Hingga rembulan yang biasanya tersenyum
Bercanda dan bercerita
Diam seketika
Hilang!
Hanyut dalam lautan kemarahan
Dan mentari hanya mengurut dada
Diam terpaku
Tertunduk dalam resah

Mentari hanya bisa berharap
Mungkinkah rembulah kembali bercerita
Tentang astronot ganteng yang mendarat
Tentang hiruk pikuk manusia dibumi
Tentang jeritan awan
Atau…
Rembulan tetap diam tanpa amarah
Tersenyum sinis terhadap mentari yang bersabar
Mengharap sapaan
Atau….
Mentari tak mau peduli
Dia hanya peduli pada mereka yang mengharap sinarnya
Menyembunyikan galau hatinya
Dan tersenyum dalam kepedihan jiwanya
Sebab kini ia tahu,
Rembulan tak butuh sinarnya
Saat ini !

Kebisuan 2

Bumi bertanya, Mentari kenapa kau diam?
Awan berbisik, mentari bicaralah
Tapi mentari tetap membisu
Diam terpaku
“Aaah…emang aku pikirin” Gumam Mentari

Bulan, kamu sombong, judes, angkuh protes bumi
Tapi bulan tak mau peduli
Hatinya terlalu angkuh untuk berbagi
Bulan, kamu keras kepala, egois, individualis, so anggun, teriak awan
Bulan tetap tak peduli
Dan terlalu sombong untuk menerima kritik
Tak ada yang mau bicara
Diam sesaat
Hanya bumi yang terus berputar yang menjadi saksi
Kebisuan mentari
Kesombongan rembulan

Huh! Dasar egois, sombong! Gerutu awan
Angin, bawa aku dari mereka, teriak awan
Angin datang membawa lari sang awan
Lenyap seketika!
Tinggal rembulan yang tertunduk dalam resah
Menangis dan bersedih
“awan, sebenarnya aku pun ingin berdamai dengan mentari dan seisi jagat ini” bisik rembulan lirih
sayang…
awan tlah berlalu
dan tak ada yang peduli
selain sepi

Kebisuan 1

Waktu dengan kejam membiarkan kita saling terpejam
Angin tak mampu membuat kita saling bicara
Becanda seperti dulu
Tetapi aku tahu
Mentari masih mau menunggu
Melihat kita seperti dulu
Rembulan pun masih sabar menanti
Keakraban kita yang hilang
Disandera kesalah pahaman
Diculik keegoisan
Hilang sudah tanpa kabar
Aku sendiri,
Menanti!!
Menunggu pintu hatimu dan hatiku terbuka
Tapi nyatanya?
Kesempatan itu tak ada
Benteng itu terlalu tanggu untuk didobrak
Kita memang egois!!!

Asmamu yaa Allah..

Alunan syahdu berkumandang
Hati bergetar jiwa tertunduk
Sujud aku dihadapanMu
Menyerah aku kepadaMu
Allahu Akbar, Allahu Akbar
AsmaMu agung Ya allah
Menggetarkan relung hatiku
Melumpuhkan seluruh rusukku
Aku kerdil dihadapanMu
Aku tak berdaya didepanMu
Terimalah aku disisiMu
Ketika aku kembali
Suatu saat nanti

Harapanku

Ingin aku terus memanggilMu
MengingatMu dalam berbagai suasana
Tetapi nafsu kerap hadir tanpa terduga
Merintangi jalanku untuk menghadapMu

Ingin aku mencintaiMu dalam kadar yang sama
Tetapi seseorang tanpa sengaja menggoda
Untuk larut dalam pesonanya
Ingin aku berlari mendekatiMu
Dan tetap disampingMu
Tetapi hayalan dan kenyataan membuatku menjauhiMu meski sejenak
Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk tetap Mencintaimu
Dan memperhatikanMu
Jalan apa yang harus kutempuh ‘tuk menghadapMu
Sebab didepanku, hanya ada bayang-bayang semu kehidupan yang berhiaskan nafsu, kegilaan dan kejahatan!

Tahajjud

Sepi melingkari malam
Kelam menghiasi bumi
Bergerak bayang-bayang malam
Dalam sepi yang mencekam

Sunyi menemani malam yang panjang
Ketika ku terjaga
Terasa angin menusuk jiwa
Menggeliat sekujur raga
Kelopak mata yang rapat terpejam
Terjaga!

Malam yang membangunkanku
Kelam yang memaksaku
Mengambil air wudhu
Larut dalam sujud dan air mata
Bersimpuh pada yang kuasa
Dalam Shalat malam

Engkau

Kucari Engkau dalam diamku
Namun Kau membiarkanku dalam kebisuan
Kukejar Engkau dalam lelahku
Dan Kau berlari menjauhiku
Kusentuh Kau dalam lintas bayangku
Namun Kau tak bisa Kusentuh
Lalu bagaimana aku harus menggapaiMu?

tentang seseorang..

Aku dulu pernah berharap dan merelakan seluruh hatiku padanya, bahkan akupun rela untuk tidak menyisakan tempat dihatiku kecuali untuknya dan Tuhan. Sekian lama semua ini berjalan dan dia sedemikian menyiksaku dengan seluruh pesonanya yang menghadirkan sejuta rasa yang sedemikian berkelindan dan sangat sulit untuk kemengerti. Dia selalu hadir dalam seluruh detik yang berlalu, hadir dengan kerinduan yang menggilakan. Kadang ingin kubenci dia dengan seluruh kebencianku tetapi aku tak sanggup melakukannya, sebab rasa cintaku padanya jauh lebih besar daripada kebencianku. Ingin kumaki dia dengan seluruh kosa kata cacian yang kumiliki tetapi dia terlalu suci untuk menerima semua makian.

Kata orang aku telah jatuh cinta, tetapi aku tak mengerti, sebab aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Semua ini sedemikian menggilakan dan aku hampir putus asa untuk mengendalikan semuanya, mengendalikan agar aku tak dikuasai perasaan ini, agar aku bisa mengendalikan diri dari hal-hal bodoh yang mungkin kulakukan. Tetapi aku tak sanggup, aku hanyalah seorang wanita yang lemah, aku begitu tampak tolol dan bodoh. Aku selalu mencuri perhatiannya, aku selalu memperhatikannya sedemikian rupa dan hal-hal bodoh lainnya yang hanya menunjukkan ketidakberdayaanku sebagai perempuan. Aku benci dia, aku benci memiliki perasaan itu, meski kutemukan keindahan didalamnya.

Dia hadir disela hari-hari yang kulalui, diantara tumpukan mimpi dan obsesiku. Dan kemudian ia menjadi salah satu obsesiku. Aku ingin memilikinya!! Ah, ini gila! Aku tak pernah memiliki keinginan untuk memiliki orang lain, bahkan aku mulai mencemburuinya saat kulihat ia bersama perempuan lain, atau ketika ia ngomongin perempuan lain. Dan lagi-lagi aku harus mengendalikan semua perasaanku, aku tak ingin ia membenciku karena seluruh perasaan yang kumiliki, aku tak ingin menghancurkan kedekatanku dengannya dengan semua yang kurasakan dalam dadaku. Aku cukup berhasil mengendalikan diri, lalu aku mulai belajar sedikit-demi sedikit membencinya dan mengusirnya dari tempat yang telah kusediakan untuknya. Tetapi semakin lama aku berusaha melupakan dan membencinya, perasaan cintaku sedemikian besar dan hampir sulit kukendalikan.

Hal-hal biasa yang dilakukannya menjadi sedemikian istimewa dimataku, dan ia menjelma menjadi sosok yang teramat sempurna, meskipun aku sadar tidak ada yang sempurna di dunia ini, semua kesalahan kecil yang dilakukannya tidak membuatku membencinya, aku cukup bisa memakluminya hanya dengan satu kalimat “namanya juga manusia”. Aku selalu luruh oleh senyum manisnya, bening matanya dan sikap baiknya, dan dia teramat baik memperlakukan aku meski kadang-kadang ia sangat menyebalkan.


Seumur hidupku belum pernah aku memperhatikan dan menyayangi seseorang sedemikian rupa, dan itu cukup menyusahkanku meski aku sangat senang melakukannya. Menyusahkan karena aku harus menyembunyikan seluruh perasaanku dan apa yang aku rasakan agar dia dan orang-orang disekelilingku tak tahu kalau aku teramat mencintainya. Aku tak ingin dia atau orang-orang tahu kalau aku sangat menyayanginya. Aku sangat mencintainya. Meski aku sadar, dia tahu betul apa yang kurasakan dan aku pun tahu bagaimana perasaannya terhadapku.

Aku betul-betul tak sanggup menyimpan rahasia perasaanku, ketika seorang teman yang sangat kupercaya bersedia menyimpan rahasiaku, aku pun dengan senang menceritakan semuanya, ya! Semuanya!! Dan tak pernah terbersit sedetik pun kalau dia (sahabatku itu) akan mengkhianatiku dan menceritakan semuanya padanya dengan cara yang sangat sangat kampungan! Dan itu memalukan, sangat memalukan!!. Seumur hidupku takkan pernah bisa kulupakan kejadian itu. Tetapi anehnya dia tak membenciku, Ia tak pernah memberikan reaksi, ia tetap menjadi seperti ia sebagaimana adanya, meskipun kejadian itu bisa menghancurkan reputasinya dan sangat memalukan baginya (dan bagiku). Ia membiarkan semua yang terjadi sebagimana adanya. Dia hanya membalas perlakuan sahabatku dengan “jadian”dengan temanku sendiri, meski ia pernah mengatakan tak pernah bersungguh-sungguh tetapi itu sangat menyakitkan bagiku, apalagi ketika aku sering melihatnya berdua, ia selalu bersama dalam segala keadaan.

Perlu waktu lama bagiku untuk menyadari inilah takdir yang harus kuterima, dan ini adalah takdir yang Tuhan berikan untuk mengujiku, makanya dengan rela kumaafkan dia (sahabatku) atas perlakuannya, dan aku tak pernah membencinya sebab ia memiliki niat yang baik (pada awalnya) meskipun pada kenyataannya menghancurkan kedekatan dan pertemanku dengannya. Biarlah kurasakan derita mencinta dengan mencintainya sebab akhirnya aku menemukan cinta-Nya dari mencintainya. Kurasakan Tuhan begitu dekat dan hadir dalam berbagai keadaan. Kurasakan betapa Tuhan sangat menyayangiku.

Waktu akhirnya merenggutnya dariku dan entahlah, aku senang perpisahan membawanya pergi dariku setidaknya aku takkan melihat dia bersama ceweknya lagi, dan aku akan terbebas dari kenangan memalukan dengan tak melihatnya, tetapi aku juga sedih, aku takkan lagi menikmati keindahan sikap dan tutur katanya, aku tak lagi bisa menikmati bening mata dan ketenangan yang ditawarkannya, aku tak lagi bisa melihat keagungan pribadinya, aku tak lagi bisa menikmati tawa, canda, dan senyumannya, aku takkan bisa lagi bertemu dengan sosok dan kesederhanaannya, ya semua telah berlalu dalam waktu. Kurasakan betapa rapuhnya aku kala ia pergi, rasanya separuh hatiku telah hilang saat ia melangkah, ia telah membawa separuh hatiku meninggalkan airmata dan kesedihan. Ia pergi tanpa mengucap sepatah atau dua patah kalimat perpisahan atau sekedar ucapan selamat tinggal. Hanya sebuah senyuman yang ia berikan, senyum yang takkan mungkin lagi kunikmati. Ia pergi membawa semuanya, seluruh perasaanku. Aku kemudian sadar, cinta sejati tak selamanya harus dimiliki, ya aku telah cukup memilikinya dari kejauhan dan aku sudah cukup bahagia dengan mencintainya dari kejauhan, aku sudah cukup senang dengan kedekatan dalam kejauhan.

Sejak ia pergi, aku tak pernah memberikan hatiku pada oranglain, dan tak pernah ada keinginan untuk menggantikannya dari hatiku, pun tak pernah merelakan oranglain menempati tempat yang telah ia tinggalkan. Aku tak lagi berhasrat pada siapapun, aku bahkan pernah berniat menjalani langkah sunyi dimana hanya ada aku dan Tuhan. Dan berharap Tuhan tak menghadirkan perasaan semacam itu lagi terhadapku karena aku telah merasakan betapa sakitnya derita mencinta. Aku telah sangat menderita dengan mencintainya.

rapuh..

Tiba-tiba kesedihan menguasai diriku, ah…betapa rapuhnya aku dan berharap seseorang menguatkan aku. Tetapi tak ada siapa-siapa disini selain sepi. Sepi yang menggelayut seakan tak mau berajak dalam hidup bahkan ketika suasana ramai. Ingin aku berlari dari kegilaan ini, dari kepedihan yang tak berujung dan berpangkal. Aku terlalu perasa, mungkin ketika hidup rasanya begitu menyiksaku dalam kehampaan jiwa. Ketika kesedihan tiba-tiba datang dalam waktu yang riuh.
Aaahh…aku hanya perlu meguasai diriku, dari kepedihan ini, dari kegilaan ini, dari kehampaan yang menyiksa. Tapi mengapa semua begitu sulit? Begitu rumit dan hidup menjadi semakin kompleks untuk kupahami, untuk kumengerti bahkan untuk kujalani, meskipun aku yakin hidup pasti tidak sesulit yang aku pikirkan. Hidup ini begitu sederhana dalam kerumitanku. Andai aku dapat menyederhanakan hidup dan menikmatinya dalam waktu yang lama. Kenapa semua begitu sulit kulakukan?kenapa kehampaan ini selalu saja menggerogoti hidupku? adakah yang masih aku cari selain ketenangan dan kebahagiaan? Adakah yang aku cari dalam hidup sedang semua tampak kosong dalam pikiranku. Sedang hidup tak menyisakan apa apa selain kehampaan ini.

Dalam cinta ku temukan air matanya….

Seorang teman mengeluh padaku berkenaan dengan kisah cintanya yang tak semulus jalan tol, aku pun menampung air matanya dalam mangkuk jiwaku dan menampung keluh kesahnya di kedalaman bathinku, dan aku tak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
“ kenapa aku harus jatuh cinta padanya jika ia akan menyakitiku?” katanya disela isaknya yang mengharu biru perasaan. Aku hanya diam mencari jawaban yang tepat agar lukanya tidak semakin menganga.
“cinta itu soal hati, dan hanya hatimu yang mampu menjawab pertanyaanmu sendiri” gumam bathinku dan tak ingin ku ucapkan.
“Cinta itu anugrah dari yang Maha Kuasa, jika kamu mencintainya itu artinya cinta telah menunjukmu untuk mengikutinya, dan Tuhan memilihmu untuk mengemban amanatNya, menebar kasihNya. Dan, kau memilihnya disebabkan karena ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatianmu yang membuatmu harus membagi cinta atas Tuhanmu sendiri, Sang Pemberi Cinta. Jangan salahkan ia jika ia membuatmu menangis, barangkali kamu terlalu berlebihan memberikan hatimu padanya, atau barangkali dia bukan orang yang tepat untuk kau cintai sedang kamu mencintainya berlebihan” Jawabku dengan ketakutan kata-kataku akan menyakitinya.
Lalu dia bertanya lagi, “ Bukankah cinta itu tak pernah salah?”
“Ya! Cinta tak pernah salah, hanya waktu dan tempat saja yang tidak tepat. Atau kau tak mampu mengendalikan perasaanmu sendiri” Tapi aku tak sanggup untuk mengatakannya.
Aku sendiri bingung berkata-kata lagi, aku hanya bisa menampung air matanya yang semakin deras mengalir. Aku tak ingin menyalahkan siapapun berkenaan dengan kisah tragis yang menimpanya. Aku tak ingin menyalahkan dia yang menderita karena kesalahannya sendiri yang tak bisa menjaga perasaannya, aku tak ingin menyalahkan dia yang membuat temanku menangis yang disebabkan karena cintanya yang tak bersambut, pun demikian, aku tak ingin menyalahkan Tuhan yang telah memberikan cinta kepada temanku sehingga membuatnya menderita, sebab tentu Tuhan tahu apa yang dilakukanNya, hanya saja kesalahan kita adalah tidak mau mengerti dan memahami kehendakNya. Dan itu juga yang membuat temanku menangis……..

Ketika aku tak tahu harus berbuat apalagi….

Aku bingung dengan diriku sendiri, dengan apa yang aku alami, dengan apa yang aku cari dan dengan apa yang pikirkan. Pemikiranku tentang hidup dan kenyataan kian menghempaskan aku kedalam suatu perenungan yang dalam dan menggilakan. Seribu pertanyaan muncul dalam otakku tanpa kumau, dan aku lelah mencari jawaban, pun sekedar bertanya. Aku tak mampu berpikir lagi, meskipun hanya untuk memikirkan hal yang sederhana. Aku mencoba untuk tak memikirkan apapun dan menjalani hidup seadanya, semampu aku bisa menjalaninya. Dan ternyata aku tak bisa jika aku tak berpikir, mungkin seperti kata Descartes, “aku berpikir, karena itu aku ada”. Pertanyaan-pertanyaan yang aku abaikan selalu mengusik pikiranku dan menuntut jawaban secepatnya. Untuk masuk pada pemikiran yang paling dalam, aku harus mengasingkan diri dari kenyataan, dan aku terlihat aneh oleh teman-temanku. Kepentingan-kepentingan pikiranku dalam perenungan, berbenturan dengan kepentingan-kepentingan teman-temanku dalam kenyataan, dan aku pun mulai mengingkari janji, semua terjadi karena kau bingung apa yang harus aku lakukan. Perbedaan pendapat mulai mengusik dan aku menerimanya sebagai keindahan. Sayang, perbedaan itu tidak terletak pada pemikiran pengertian dan makna yang aku cari, tetapi perbedaan itu lebih dimaksudkan untuk mengkritik keanehan dan perubahan dalam jasad kasarku bukan pada pemikiranku. Karena itu, aku harus menemukan jawabannya sendiri dan kadang sulit dimengerti orang lain, meskipun sejauh tidak melanggar prinsipku aku selalu mengalah dengan menerima dan menyesuaikan diri dengan pemikiran orang lain ( untuk hal-hal yang tidak menyentuh substansi pemikiranku ), hanya untuk menyenangkan mereka dan meyakinkan mereka kalau aku belum (benar-benar) menjadi gila. Akhirnya, pemikiranku berkembang pada pencarian satu wujud tunggal yag menjadi Causa Prima, aku mulai mencariNya sampai pada suatu kesimpulan aku tak mungkin dapat menemukanNya, lalu aku meyakiniNya dan ternyata Dia ada dalam hatiku dan bahkan lebih dekat dari urat nadiku.
Meskipun aku menyadari nafasku adalah sebagian dari dari nafasNya, dan hidupku ada dalam gengggaman tanganNya, tetapi pemikiran tentang hidup belumlah usai, aku masih memiliki beberapa pertanyaan yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar dalam sel otakku. Kehidupan yang kurasakan semakin menggilakan, mengajakku berpikir tiada henti akan rahasia hidup dan Tuhan sebagai asal mula dan tempat seluruh keberadaan. Dan aku semakin sulit dimengerti bahkan oleh diriku sendiri.
Kenyataan-kenyataan yang sedemikian berbeda dari yang aku pikirkan telah menghempaskan jiwaku, perjalanan menuju Tuhan sedemikian menyakitkan hatiku dan pengembaraan ini begitu melelahkanku, aku ingin membebaskan diriku dari pemikiran-pemikiran, dan aku tak tahu harus berbuat apa lagi berkaitan dengan pengembaraan dan pemikiran-pemikiranku itu.
Aku adalah milik Tuhan----demikian hatiku selalu berkata---- jiwaku tak punya kehendak apapun terhadap diriku tetapi sebaliknya diriku menginginkan seluruh apa yang ada dalam jiwa dan pikiranku, suatu hubungan yang tidak harmonis sebab diriku menuntut jiwa dan pikiranku untuk mengikutinya dalam bentuk sebuah kesadaran yang utuh di dunia nyata, tetapi kadang aku ingin membebaskan jiwaku terbang menemui Tuhan. Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kurasakan, kenapa aku harus seperti ini? Apakah kondisi gila adalah puncak pemikiran tentang hidup? Lalu apakah itu sebuah keburukan atau kebaikan?
Jiwaku rapuh dalam pengembaraan ini dan aku terjatuh tanpa sempat mengaduh, jiwaku yang kerdil hampir senantiasa terjatuh dalam lubang keputusasaan yang kian mendalam bahkan mengantarkanku pada keinginan mengakhiri hidup dalam seutas tali atau segelas baygon berkaitan dengan ketidakkuatanku dalam menerima hidup, tetapi imanku menuntunku pada sebuah kesadaran bahwa itu bukanlah pilihan terbaik, sebab kematian hanya akan mempercepat pertanggungjawaban hidupku dihadapan Tuhan, dan aku belum mempersiapkannya dengan baik, bahkan catatan hidupku masih berserakan, entah dimana…. Dan aku juga menyadari Tuhan akan murka padaku jika aku mengambil pilihan itu, mungkin Dia akan menendangku ke dasar Jahannam, dan itu menakutkan bagiku. Lalu, harus bagaimana lagi hidup ku pertahankan? Jujur, aku bosan dengan yang ku jalani…..
Aku ingin terbebas dari belenggu keberadaanku, dari keberadaan yang mengikatku dengan norma-norma yang meracuni pikiranku, dari keberadaan masyarakat yang menciptakan norma untuk dirinya sendiri, aku ingin membebaskan diriku dari ikatan-ikatan dunia yang membelengguku, aku ingin melepaskan diri dari belenggu yang tak tampak nyata ini….
Pemikiran dan pencarianku tentang makna hidup dan Tuhan, semakin menenggelamkanku dan aku semakin terlihat aneh bahkan beberapa teman mulai mengkhawatirkanku berkaitan dengan keanehan dalam diriku, dan jiwaku semakin terjatuh dalam ladang duka yang tiada tepi dan tak kutemukan tangga untukku naik….
Apakah untuk mengerti dan memahami hidup hidup harus menjadi gila…?

Senin, 05 April 2010

Cerita senja

Senja mulai menawarkan kelam. Aku berdiri di hamparan hari yang berlalu, melangkah dengan ketakutan malam kan memangsaku dalam gelap, meninggalkan siang dalam kekalutan. Aku termangu menatap hamparan jingga dan tak berharap kelam kan menggantikan terangnya siang hari. Lelah, kucari bayang-bayangnya dalam hamparan malam namun tak kutemukan selain hitam.
Bulan kemerah-merahan di langit jingga, menawarkan kesejukan menggantikan teriknya matahari yang membakar siang. Lampu-lampu jalanan yang menerangi malam, seakan berlomba-lomba memberikan cahaya pada kelam, bias jingga masih tersisa di ufuk barat. Selalu saja ada ketakutan dalam kelamnya malam, seakan-akan ada raksasa yang akan memangsa pikiran dan meracuni jiwa dengan setumpuk bayang-bayang hitam. Kehampaan yang terasa dalam garis-garis malam, ketika kesunyian mengusik dan tak kudapati siapa-siapa yang akan menguatkan langkah jiwa selain sepi. Sunyi setia menemani ketika kelam menjemput. Malam seakan memberikan ketenangan bagi jiwa-jiwa yang terlelap namun menghadirkan keresahan bagi jiwa yang terjaga dalam ketakutan dan kehampaan. Tak kudapati sapaan selain semilir angin yang berlalu menerpa daun-daun yang kedinginan tak berselimut, selain embun. Tak kutemui teman bicara selain detak jarum jam yang berlalu dalam waktu, meninggalkan resah yang sedemikian berkelindan, meninggalkan sepi yang semakin menggelayut menghantarkan pagi, menjemput matahari.
Nyanyian malam melantunkan lagu kepedihan, diiringi musik alam yang menggugah nurani, mengusik sanubari, menjemput airmata, mengingatkanku akan kenangan masa lalu yang hilang dalam waktu, yang karam dalam detik yang berlalu dan terkubur dalam hari yang terlewati. Tak tersisa selain luka. Malam masih terus saja berlalu, tak meninggalkan apa-apa selain kelam. Pun tak memberikan apa-apa selain kepedihan.
Pada malam pernah kuberharap, kelamnya kan membantuku melupakan kepedihan, gelapnya akan mengusir ketakutan dalam jiwa, dan sunyinya akan memberiku ketenangan, menghadirkan mimpi indah dalam tidur, tetapi semua tak berguna, ketika pagi menjemput aku belum sempat terlelap, aku belum sempat membuang seluruh kenangan. aku masih menyisakan air mata, aku masih memiliki kepedihan dan aku masih menemukan sepi dalam riuhnya pagi.
Pada pagi aku pun pernah berharap, terangnya kan membunuh takut, ramainya kan membunuh sepi meski ternyata hari masih saja belum berubah dan aku masih saja berdiri dalam kerapuhan dan kehampaan, masih bergelut dalam sepi meski dunia ternyata lebih ramai dari yang diperkirakan.
Lalu kurajut hari-hari dengan kemampuan yang tersisa, tentu tak memaksa sebab aku tak memiliki keinginan untuk memaksakan apapun, tidak terhadap diriku sendiri pun orang lain, kuhindari kelamnya malam, kuhindari terangnya siang dan aku berada diantaranya, diantara sepi dan ramai, diantara kelam dan terang, diantara kenyataan dan mimpi.

15 September 2003

Untuk kau yang begitu agung

Kesejahteraan hanyalah untukmu, duhai kekasih alam
Tak ada keindahan selain parasmu
Tak ada kelembutan , selain sikapmu
Tiada keberanian selain dirimu
Kau lewati hari dengan kesahajaan
Kau lalui malam dengan tangisan,
Meski Tuhan telah memaafkanmu

Kelembutan hatimu laksana salju
Keberanianmu tanpa ada yang menandingi
Kau dicintai tidak hanya oleh teman
Musuhpun mengagumimu
Kau menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan
Karena kau ditakdirkan sebagai rahmatan lil’alamin

Duhai pembawa risalah
Tiada kata yang bisa ku berikan padamu
Karena kau telah memiliki semuanya
Kau manusia terbesar yang telah zaman lahirkan
Semoga rahmat dan kesejahteraan tercurah untukmu
Amiiin


19 sept 2003
dalam kesunyian jum’at